extreme filter bottle neck yang semakin tak masuk akal  

Posted by lestanto

Bottle neck..
Yah bayangin sebuah botol, ya botol yang wajar-wajar ajalah kaya botol minuman ato botol kecap ato apa ajalah ngga usah yang aneh-aneh. Tipikalnya sama diatasnya lubang kecil kadang ada yang panjang ada yang pendek lehernya, dibawahnya biasanya gendut buat tempat penampungan isinya. Kurang lebih kaya gitu kan gambaran kita. Fungsinya untuk memfokuskan apa yang akan dimasukkan ke dalam botol.

Trus Filter ato penyaringan emang kita semua tau fungsinya yaitu buat menyeleksi mana yang layak dan yang tidak layak diikut sertakan dalam pilihan. Yang sesuai dengan pilihan bakal lolos dan yang ngga sesuai dengan pilihan bakal nyangkut. Gitu kan ya. Yang nyangkut trus diapain? ya terserah bisa dibuang ke sampah, bisa disaring lagi pake saringan yang lain yang lebih sesuai, ato apa ajalah.

Trus ngapain kita ngomongin botol sama saringan? hehehe.. tenang bos.. nyante.. cuma pengen berbagi analogi aja. Analogi soal kondisi yang ada sekarang di sekeliling kita ini aja.
Kondisi sekarang ini tiap tahunnya semua institusi pendidikan selalu menghasilkan para lulusannya. Jumlahnya sangat banyak dan rutin tiap tahunnya. Sementara isi ajarannya masih bersifat relatif umum dan boleh dibilang kurang aplikatif.

Trus pada kemana lulusan-lulusan institusi pendidikan tersebut?. Sadar ngga sadar, masyarakat kita telah terdogma sama ajaran penjajah terutama Belanda dulu. Pada jaman Belanda dulu, orang- orang pribumi seolah-olah diangkat derajadnya dengan menjadikan mereka pegawai Belanda menempati kelas masyarakat tersendiri diatas orang pribumi yang menderita. Secara halus Belanda pengen mematahkan semangat berjuangnya masyarakat kita, dengan menjadikan masyarakat kita abdi/ pegawai/ amteenar bagi Belanda yang notabene hidupnya dibikin agak enakan. Parahnya, Belanda berhasil... Dogma bahwa menjadi pegawai itu punya prestise tersendiri sudah semakin mendarah daging di masyarakat kita. Masih inget apa pesen orangtua-orangtua kita?. Kurang lebih nada-nadanya bakal kaya gini. Sekolah yang pinter, kalo dah lulus trus cari kerja ya nduk. Nah dari sini kita tau bakal kemana para lulusan institusi pendidikan kita. Mencari kerja.

Sementara disisi lain, begitu sangat minimnya orang-orang kita yang punya pola pikir kuat buat ngediriin perusahaan. Coba aja tanya disekitar kita dari 10 orang yang kita tanya ato paling ngga kita tau, berapa yang berani bermindset kuat mendirikan perusahaan/ usaha.
Nah kenapa aku kasi judul tulisan ini 'extreme filter bottle neck yang semakin tak masuk akal', kita bisa sarikan dari penjlentrean diatas. Kondisi sekarang ini para lulusan institusi pendidikan semakin dihadapkan pada kenyataan yang cukup berat alias ekstrem kalo masih memilih mengikuti dogma Belanda. Bottle neck dari perusahaan yang hanya membutuhkan sejumlah kecil pegawai masih di'filter' lagi dengan berbagai kriteria- kriteria yang dimaui perusahaan. Bahkan kadang sekarang ini filter itu bisa berupa uang yang mesti dibayarkan kalo mau jadi pegawai alias pelicin, aneh aja mo nyari duit kok malah mesti bayar, kecuali kalo emang berbisnis itu emang bisa disebut investasi. Lha kalo kaya gini apa bisa disebut investasi?mending bisnis aja sekalian.
Belum lagi sekarang ini mesti bersaing dengan kompetitor lain yang cukup berat buat dikalahin. Apa itu?Corporate University. Sekarang ini, perusahaan- perusahaan semakin turun tingkat kepercayaannya pada institusi pendidikan. Kaya aku bilang di awal bahwa isi ajaran pendidikan kita relatif umum dan kurang aplikatif. Perusahaan memandang para lulusan institusi pendidikan kita tidak siap pakai. Sementara maunya perushaan/ industri adalah tenaga yang siap pakai. Ya masuk akal ajalah pemikiran industri itu, kalo yang diterima itu bukan yang siap pakai berarti masih perlu kasih training pelatihan lagi dan cost yang dikeluarkan bakal ngga sedikit, sementara kalo dari pemikiran bisnis, mendingan buat ekspansi bisnis nggedein bisnis. Belum lagi tipikal para pencari kerja sekarang cenderung belum tentu sepenuhnya untuk loyal dalam artian ah disini buat cari pengalaman ajalah, ya ngga?dan masuk akal kalo ngelatih pegawai yang bukan untuk loyal itu hampir kaya sunk cost ato CSR aja. Dari sini masuk akal juga kalo perusahaan mulai memunculkan Corporate University. Apa itu corporate university?gampangannya yah perusahaan itu bikin sekolahan yang materinya itu sesuai dengan apa yang dibutuhkan sama perusahaan itu. Pengajarnya kadang langsung dari manajemen perusahaan tersebut. Lha kalo kaya gini kan lebih tepat guna. Mirip dengan ikatan dinaslah gampangnya. Dan inilah saingan para lulusan institusi pendidikan kita, saingan yang tidak enteng.

Bagi perusahaan melatih calon-calon seperti ini lebih menguntungkan daripada yang tidak jelas loyalitasnya, setidaknya untuk masuk sekolah ini juga harus bayar dan bisa menjadi income juga buat perusahaan. Terserah setelah lulus dari corporate university tersebut mau lanjut keperusahaan ato perusahaan lain. Jadi inget cerita kerajaan Inggris. Untuk melengkapi interior kerajaan perlu permadani tapi yang unik dan khas kerajaan Inggris. Setelah itung punya itung, daripada beli permadani mendingan bikin pabrik permadani sendiri lebih menguntungkan. Kebutuhan sendiri terpenuhi, bisa dapat hasil juga dari pabriknya.

Saingan berat para lulusan institusi kita lainnya adalah teknologi. Kalo kita liat film- film futuristik sekarang yang menggambarkan kemampuan manusia yang semakin digantikan sama robot ato kemajuan teknologi semakin memaksa kita untuk terus berpikir, peran apa yang bakal kita mainkan nanti?. Buat aku, peran kita nanti mungkin saja tergeser sama kemajuan teknologi adalah sebuah pendekatan logika yang masuk akal. Kenapa begitu?Kita liat yang sederhana aja, peran pak pos sekarang semakin tergeser sama e-mail,sms, telpon. Tipe X ato penghapus diganti sama tombol BackSpace ato tombol Delete. Bahkan diJepang sudah ditemukan robot yang bisan menggantikan para penyiar pembaca berita TV. Cetak digital sudah semakin menggeser para tukang sablon. Jadi inget juga ini, ada seorang yang melamar kerja di percetakan, dia suka sekali dengan seni lukis. Tapi percetakan sekarang kan sudah menggunakan komputer buat ngedisain tapi orang ini ngga bisa kalo ngedisain pake komputer. Ngobrol punya ngobrol ternyata masnya ini dulu tukang buat lukisan untuk orderan papan baliho sampai lukisan buat gambar layar untuk iklan film bioskop. Kita ingetkan gimana iklan film bioskop jaman dulu masih pake lukisan dikain itu. Miris juga rasanya ngeliat kaya gitu. Tapi gimana lagi, ya inilah tantangan yang mesti kita hadapi mau ngga mau. Pernah aku mo tanyain soal ini di kelas sama dosen. "Pak saya masih belum ngerti gimana ngatasi tantangan tenaga manusia ini yang bakal digantikan sama teknologi?" sambil becanda dosennya jawab "Kasian deh lo, hari gini masih ngga ngerti" dan jawaban selanjutnya masih belum memuaskan gitu. Hehehe..kacian deh..

Itu tadi sebagian filter sama bottle necknya. Trus ekstremenya itu jumlah lulusan sama kebutuhan industri tu ngga seimbang. Kebutuhan industri baru ada kalo ada yang pensiun, pindah kerja ato dipecat. Dan perbandingan yang keluar dari perusahaan sama jumlah lulusan ini sangat timpang. Belum lagi jumlah botol ato perusahaan yang nampung, pertambahan jumlahnya sangat lambat. Ini dipicu juga sama dogmanya penjajah Belanda tadi. Ini juga kenapa aku bilang tak masuk akal. Jumlah lulusannya banyak banget rutin, jumlah yang keluar dari perusahaan ngga banyak-banyak amat, kemampuan tampungan botolnya terbatas, jumlah botolnya juga ngga tambah-tambah. Trus pada mau dimasukin mana tu lulusan?

Solusi yang mungkin adalah persiapkan para lulusan buat bikin botol-botol lainnya lagi, biar bisa nampung lulusan yang ngga bisa bikin botol.

This entry was posted on Rabu, 08 Oktober 2008 at 06.53 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

1 komentar

abNg,,,,9oOd jOb!!!

poStin9annYa baGus,,,n beNer b9t!!!

iTu kYk pen9aLaman aY j9 seH...
n poStin9an iNi bS jD reNun9an bUat aY...

n sMo9a aY bS jD LuLusAn y9 bS biKin bOtoL bwT LuLusan LainnYa...
amIen...hihihi...

8 Oktober 2008 pukul 10.26

Posting Komentar